Mata merupakan salah satu organ manusia yang berfungsi untuk memberikan informasi visual seperti bentuk objek, jarak benda, hingga warna. Berkat organ-organ seperti fotoreseptor, lensa, retina, serta organ lainnya, cahaya yang dipantulkan oleh objek dapat diterima oleh otak manusia sehingga menghasilkan suatu pola yang mengandung informasi visual dari objek tersebut yang biasa disebut sebagai sebuah gambar.
Seperti halnya organ lain, beberapa manusia tidak memiliki mata yang berfungsi secara sempurna. Salah satunya adalah miopi yang merupakan gangguan mata atas ketidakmampuan manusia dalam melihat objek yang jauh. Gangguan mata lainnya yaitu seperti glaukoma, presbiopi, atau katarak yang merupakan gangguan mata penyebab kebutaan paling tinggi. Di artikel ini, kita akan membahas sejarah desain kacamata, mulai dari bagaimana pertama kali alat bantu baca diciptakan hingga desain kacamata saat ini.
Masalah mata pada dasarnya bukanlah masalah baru, dan sudah memiliki penderita sejak zaman Yunani kuno. Indikasi dari ganguan mata itu sendiri sudah ditemukan oleh Aristoteles pada tahun 350 SM. Kemudian sekitar satu millennium setelahnya, masalah ini akhirnya dapat diselesaikan berkat diterapkannya lensa untuk membantu manusia untuk melihat sesuatu ketika penglihatannya buram.
Batu baca. Sumber: light-microscope.net
Alat bantu pertama untuk membaca adalah batu baca (reading stone) yang sering digunakan pada awal millennium kedua setelah masehi (1000 M). Batu baca pada dasarnya merupakan sebuah lensa yang cara penggunaannya perlu dipegang oleh penderita agar objek yang dilihat menjadi lebih jelas. Alat ini sangat berguna untuk penderita rabun dekat untuk membaca suatu buku atau manuskrip.
Kacamata keling. Sumber: pinterest.com
Penemuan batu baca sangat membantu manusia yang memiliki kesulitan dalam membaca suatu teks yang terlihat buram olehnya. Mengingat bahwa desain batu baca hanyalah sebuah batu biasa yang harus dipegang oleh pengguna dan digerakkan oleh tangan untuk memfokuskan objek yang dilihat, maka penggunaan batu baca ini perlu digeser jika pengguna hendak melihat objek yang berada di luar cakupan gambar yang terlihat pada batu baca. Oleh karena itu, di Italia bagian utara pada abad ke-14 ditemukanlah suatu alat yang disebut sebagai kacamata keling (rivet spectacles).
Perangkat ini disebut sebagai kacamata keling karena rancangannya terdiri dari dua buah lensa yang dipasang pada bingkai berlengan, dengan masing-masing ujung lengannya terpaku pada titik yang sama, sehingga membentuk suatu sudut dengan masing-masing posisi lensa berada tepat di depan mata. Dengan rancangan ini, pengguna cukup memposisikan perangkat ini tepat pada mata, dengan posisi keling berada di bagian atas kepala. Dengan demikian, pengguna tidak perlu lagi menggeser batu seperti halnya ketika menggunakan batu baca. Namun, pengguna masih perlu memegangnya dengan tangan agar tidak terjatuh.
Kacamata pince-nez. Sumber: fallriverhistorical.org
Desain dari kacamata keling sebelumnya yang tidak memiliki penyangga tentunya mengharuskan pengguna untuk memegangnya dengan tangan ketika sedang membaca atau mengamati suatu objek. Artinya, kacamata ini bukanlah kacamata yang dirancang agar dapat dipasang pada tubuh manusia seperti halnya pakaian.
Untuk menjawab ini, pada abad ke-14 dirancanglah suatu kacamata yang dapat dipakai (wearable) sehingga pengguna tidak perlu lagi memegangnya dengan tangan. Kacamata ini disebut sebagai pince-nez, yakni kacamata dengan tambahan komponen elastis atau per pada pinggir dalam masing-masing lensa. Kedua komponen ini berfungsi sebagai penjepit, sehingga pengguna bisa melihat objek tanpa harus memegang kacamata. Pengguna dapat memakai kacamata ini dengan menjepit bagian tengah kacamata pada hidung.
Salah satu pengguna dari kacamata pince-nez ini adalah seorang komposer dari Prancis yang bernama Jacques Offenbach pada abad ke-19.
Jacques Offenbach. Sumber: getty.edu
Kacamata kuil. Sumber: pixabay.com
Walaupun kacamata pince-nez dapat dipakai sebagai aksesoris seperti kalung atau anting, tentunya rancangan akan kacamata ini bukanlah rancangan yang sempurna. Ini dikarenakan mekanisme penahan kacamata yang mengharuskan kacamata untuk menjepit organ hidung agar tetap berada di tempat. Ini membuat hidung menjadi mudah terluka dan tentunya memberikan rasa tidak nyaman untuk pengguna.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pada awal abad ke-18 seorang ahli optik asal Inggris Edward Scarlett, merancang kacamata untuk menggantikan mekanisme per untuk menjaga kacamata berada pada tempatnya. Alih-alih menggunakan per, beliau menambahkan suatu lengan atau kuil yang berfungsi sebagai penyangga pada telinga, sehingga kacamata tetap berada di posisinya tanpa harus melukai organ hidung. Dengan demikian, kacamata ini disebut sebagai kacamata kuil (temple glasses). Kacamata desain ini adalah kacamata yang masih sering digunakan hingga saat ini.